Al Hallaj: Dimensi Ketuhanan dalam Manusia

Al Hallaj: Dimensi Ketuhanan dalam Manusia
Al Hallaj: Dimensi Ketuhanan dalam Manusia

MEDIA IPNU - Al Hallaj: Dimensi Ketuhanan dalam Manusia. Nama asli beliau adalah Abul Mughist al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidlawi, beliau lahir pada 244 H yang berasal dari Thur sebuah desa dekat Baidha’ Persia, banyak peneliti yang meyakini al-Hallaj adalah orang arab yaman karena ibunya merupakan arab dari haritsiya. 

Ada pula yang cenderung mengatakan bahwa beliau orang asli Persia, mengingat leluhurnya banyak yang memeluk majusi. Ayah beliau seorang penggaru kapas. Masa kecil beliau dilalui dengan belajar kepada beberapa ulama’ diantaranya kepada Sahl bin Abduallah Tustari sekitar umur 18 tahun, kemudian beliau pergi ke Baghdad sekitar tahun 262 H.Beliau menikah dengan Umm al-Husain, putri bu Yakub Aqta.

Pada tahun 270 H, al- Hallaj pergi menunaikan ibadah haji yang pertama , setelah berhaji beliau kembali ke Basrah dan membuka majelis ilmu , dari sinilah beberapa pemikiran kontroversial al-Hallaj muncul sehingga menyebabkan banyak orang menentang dirinya termasuk ayah mertuanya. Karena situasi tidak kondusif dan semakin memanas akhirnya beliau memilih untuk terpaksa menjauhkan diri dan tidak bergaul dengan kaum sufi lainnya, beliau memilih untuk terjun dalam dunia duniawi dan bergaul bebas dengan masyarakat luas. 

Al-Hallaj melakukan pengembaraan ke berbagai negara selama 5 tahun Pada tahun 274 H – 279 H , mulai dari Khurasan, Sijistan, Kirman, hingga ke Fars. Di tempat ini beliau membuka pengajian dan ceramah di depan umum untuk menyeru krepada tuhan. Orang Fars mengenalnya sebagai Abu Abduallah sang zahid. 

Dari Fars ia kembali lagi ke Ahwaz, pengembaraan ini dinilai banyak kalangan sebagai pengembaraan apostilik, karena dalam pengembaraannya al-Hallaj diduga berusaha menyelami dan mendalami ajaran dan tradisi dari umat agama lain seperti kristiani, zoroastrianisme dan lainnya.

Pada tahun 280 H, al-Hallaj kembali ke Tustar dan membuka pengajian kembali. Bagi para penentang, al-Hallaj tidak lebih dari sekedar orang yang berpaham salah dan bahkan ada yang menyebutnya dukun klinik (jubbai dari mu’tazilah dan sahl dari syiah). Bagi para pendukungnya, al-Hallaj merupakan sufi besar yang sampai pada tingkat mampu mengetahui rahasia manusia karenanya ia dijuluki al-Hallaj al-Asrar yang bermakna qalbu atau rahasia.

Pada tahun 282 h, Al Hallaj kembali ke tustar melalui rute Kufah. Namun hanya sebentar di sana dan kemudian beliau memtuskan untuk meninggalkan Tustar dan bermukim di Baghdad. Di Baghdad ia bersahabt dengan sufi besar, yaitu nuri dan sybli.

Pada tahun 284 H, al-Hallaj kembali melakukan pengembaraan keduanya yang diantara misinya untuk mengislamkan orang- orang turki dan orang-orang zindiq. Selain itu ia juga menuju belahan barat india, khurasan, mawaralnar, turkistan, masin, dan kembali ke khurasan dan berakhir di baghdad.

Pada tahun 292 h, qadhi maliki baghdad bernama Abu Umar datang kepada Ibn Dawud untuk minta fatwa. Kemudian ia berfatwa, “Jika apa yang Allah utarakan kepada rasulnya adalah benar, dan apa yang beliau bawa adalah benar, maka apa yang al hallaj katakan salah." 

Ibn Dawud bersikeras dengan pernyataan ini, dan bahkan menyatakan menghukum mati al hallaj merupakan tindakan sesuai hukum. Di sisi lain, ibnu suraid, seorang syafiiah, mengkritik ibn dawud yang mendakwa Al Hallaj sebagai ulama sesat dan wajib dijatuhi hukuman mati. Sebab apa yang al hallaj sampaikan menurutnya bagian dari inspirasi mistik itu bukan bagian dari tuntutan hukum. 

Ibnu Suraid berkata “Ketika aku melihat bahwa dia memahami al qur’an dengan sepenuh hati dan mempelajari isinya. Ahli dalam ilmu hukum, mempelajari hadis, perkataan dan contoh-contoh nabi, salah seorang yang berpuasa secara rutin, dan berdiri tengah malam, berkhotbah, mencucurkan air mata dan mengatakan kata-kata yang tidak aku pahami, maka aku tidak dapat memutuskan bahwa ia orang yang tidak beriman”.

Pada tahun 209 H, al-Hallaj kembali menunaikan ibadah haji untuk terakhir kali. Pada masa inilah ia dianggap berada pada puncak kasyaf. Dan fana, sehingga keluarlah ungkapan paling terkenalnya, “ ANA AL HAQQ (akulah sang kebenaran).

Sekitar 296 H, al-Hallaj dimasukkan ke penjara karena dianggap melakukan upaya revolusi sosial dari politik. Namun tidak sampai setahun ia keluar dan menyingkir ke sebuah kota di ahwaz. Ia berada di sana selama 4 tahun. Karena tetap pada pendiriannya terkait ungkapan-ungkapan kontroversialnya dan keberpihakannya kepada orang-orang yang kontra pemerintah, ia pada 301 h dimaskkan kembali kedalam penjara. Ia dituduh karena berkhutbah tentang inkarnasionalisme dan kedua, dituduh mempunyai hubungan dengan gerakan qaramithah. Ia dipenjara selama 9 tahun.

Tuduhan yang diberikan kepada al-Hallaj yang mengakibatkan dia dieksekusi adalah korespondensi secara rahasia dengan qaramithah. Sekte qaramithah ini adalah sempalannya SyiahIismailiyah, semacam gerakan underground yang memberontak pada Abbasyiah. Tuduhan ini sebagai upaya pembuktian bahwa dia penganut syiah qaramithah, padahal al-Hallaj dengan tegas menyatakan dirinya adalah sunni. Karena al-Hallaj ini lahir di Iran, dan bertepatan daerah tempat dia lahir itu dekat dengan wilayah munculnya sekte syiah qaramithah. Meskipun al-Hallaj sendiri mengakui bahwa ia penganut sunni. 

Pikiran berlebihan para pengikutnya yang menganggap dirinya memiliki sifat ketuhanan. Padahal kecenderungan ekstrem para pengikut al-Hallaj baru muncul jauh setelah dia dipancung dan itu pun terbatas pada pengikutnya yang tinggal di daerah nisyapur saja. Klaim bersatu dengan Allah (hulul ) dengan munculnya theophanic statements seperti ana al haqq dan semacamnya, terhadap tuduhan ketiga ini, pendapat elit ulama sufi sangat beragam, bahkan bertentangan.

Salah satu tulisan al-Hallaj pada karyanya adalah Thasin .. kebenaran adalah bentuk cahaya yang memancarkan dari yang ghaib, ia terlihat dan memancar kembali kepada yang ghaib, dan kebenaran itu melampui segala cahaya, dan menjadi cahaya diatas cahaya, dan benderangnya memancar ke sulur purnama. Titiknya yang paling terang menjulang ke angkasa yang diselimuti oleh rahasia.

Hampir semua sufi persia menganalogikan kebenaran dengan cahaya dan puncaknya kebenaran adalah cahaya maha cahaya. Jadi kebenaran itu ketika ada cahaya dialah yang mengantarkanmu pada pemahaman, seperti yang sering dikatakan para ulama’ yakni al-ilmu nurun ilmu adalah cahaya.

Pada tahun 308 H, kasus al-Hallaj dibuka kembali dari ia dihadapkan ke muka pengadilan. Pada 23 dzulqo’dah 309 H khalifah al- Muqtadir menandatangani surat hukuman mati untuk al-Hallaj. Dua hari sesudahnya, bertepatan 27 maret 922 masehi, al-Hallaj dihukum mati dengan mula-mula dipukul dan dicambuk dengan cemeti, disalib, dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya, dan sisa-sisa tubuhnya dibiarkan tergantung di pintu gherbang kota baghdad sebagai peringatan keras kepada orang lain.

Ada revolusi besar yang dibawa oleh para sufi persia, sebelum muncul para sufi ini banyak umat islam yang disebut awam yang meyakini bahwa untuk bertemu dan kontak sama Allah, harus mengikuti aturan-aturan formal dan resmi, harus patuh kepada petunjuk orang yang berwenang (ulama’, cucu kyai dll ) para sufi ini membongkar dan membikin revolusi besar dengan menunjukkan bahwa setiap orang bisa bertemu Allah, setiap orang bisa mengobrol dengan Allah, tidak ada jarak dan tidak butuh perantara dengan syarat membersihkan keogoisan, hati sampai diri kita layak untuk allah datang pada kita. 

Manusia yang mampu mengendalikan ego dan nafsunya akan mencapai derajat al muqarrabin yang bisa berhubungan langsung dengan Allah, saat ia mampu menyingkirkan sifat-sifat kemanusiaannya, ia akan mendapat jiwa Allah. Jika diri kita bersih Allah layak untuk datang, menyingkirkan sifat-sifat duniawi, dengan asumsi ini para sufi merumuskan banyak sekali ajaran yang intinya adalah setiap kita bisa berhubungan langsung kepada Allah. Karena para sufi mempunyai pikiran setiap orang itu mempunyai hak atas Allah, bukan hak eksklusif para ulama’ dan orang-orang tertentu. 

Dari sini munculnya banyak ajaran dan paling terkenal dalam tasawuf falsafi yakni ittihadnya Abu Yazid Bustomi (dari hamba yang berusaha naik sampai puncak hingga bersatu sama Allah), hululnya al - Hallaj (dari hamba yang mengosongkan dirinya hingga Allah terus bisa masuk), wahdatul wujudnya Ibnu Arobi (usaha atau tidaknya hamba akan tetapi hakikatnya bersatu sama Allah ). 

Hadis di sunni yang banyak beredar, ketika seseorang sudah sangat dekat dengan Allah semua perkataan, perbuatan, itu semua kehendak Allah. Ketika seseorang sudah dekat dan jatuh cinta maka jatuh cinta lah kepada Allah maka pikiran, perkataan, perbuatan kita selalu isinya Allah. Ketika kita sudah dekat, cinta dengan sesuatu biasanya diri kita lenyap yang ada hanyalah orang yang kita cintai dan ego nya tersingkirkan tetapi dimasuki oleh ego yang dia cintai.

Al Taftazani berpendapat bahwa konsep hululnya al-Hallaj bersifat majazi. Karena itu tidak seyogyanya dipahami secara tekstual. Konsep ini dianggap merupakan perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid al-Busthami. Hulul ini berasal dari kata halla yahullu yang berarti menempati, menitis, berinkarnasi, atau imanet istilah filsafatnya. 

Al Thusi dalam al Luma’ menjelaskan bahwa hulul adalah Allah memilih suatu jisim yang ditempati ma’na rububiyah dan leburlah daripadanya ma’na basyariyah. Hulul ini jenisnya ada dua : al hulul al-sayarani yakni bentuk hulul yang menyatu antara dua esensi sehingga tampak hanya satu esensi, seperti zat cair yang ada dan mengalir dalam tumbuhan. 

Contohnya kalau kita menanam tumbuhan dan kita siram dengan air dan air ini diserap oleh tumbuhan. Dan airnya tidak terlihat yang terlihat hanyalah tumbuhan. Al hallaj masuk dalam jenis yang pertama, karena ketika Allah masuk dalam diri kita, Allah tidak terlihat tetapi al Hallaj terlihat namun sebnenarnya al-Hallaj ini sudah tidak ada yang ada hanyalah allah, oleh karena itu al-Hallaj ini berkata “ ana al haqq “ . hulul al-jawari yakni dua keadaan dimana esensi yang satu dapat mengambil tempat pada yang lain ( tanpa ada penyatuan ) sebagaimana halnya terlihat air bertempat dalam tempayan. Contohnya air diletakkan pada gelas, gelas dan airnya terlihat.

Hulul ini akan terjadi apabila jiwa seorang hamba telah bersih dari pengaruh hawa nafsu, dan mencapai tingkat muqarrabin. Diatas tingkat ini, lahut ( sifat ketuhanan) menyerap masuk ke dalam naasut (sifat kemanusiaan) dan akhirnya fana’ lah ruh kemanusiaan tersebut karena telah bersatu dengan ruh ketuhanan laksana persatuan antara khamr dengan air. 

Dalam kitabnya yang berjudul thawasin al hallaj berkata “ kau telah mencampur ruhmu ke dalam ruhku seperti percampuran khamr dengan air. Apabila sesuatu menyentuhmu maka akupun tersentuh karena kau dan aku dalam segala hal adalah sama.”

Sebagian ulama menjelaskan bahwa sifat persatuan ini terkadang diibaratkan sebagai persatuan api dengan besi ketika besi dibakar dan menjadi merah membara. Namun  tetap saja walaupun mengalami penyatuan, antara besi dengan apitetap berbeda. Substansinya tetap besi, bukan api, sebab tidak mungkin ada penyatuan mutlak antara manusia dengan tuhan. Di sinilah pangkal ucapan al hallaj “ana al haqq “ yang dapat ditafsiri, namun ucapan tuhan melalui perantara lidah al hajj. Hal ini dapat dipahami dari ungkapnnya berikut “aku adalah rahasia yang maha besar, dan bukanlah yang benar itu aku, aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami.”

Hulul Allah pada al-Hallaj bersifat sementara, melibatkan emosi dan pencapaian spiritual. Tidak fundamental dan permanen. Al-Hallaj tidak menjadi tuhan dan tidak menyatakan tuhan, kecuali ungkapan yang tidak disadarinya ( syathahat ). Al-Hallaj tidak kehilangan nilai kemanusiaanya. Ia hanya tidak menyadarinya selama syatahat. Teori hulul ini berangkat dari pemahaman al-Hallaj tentang proses kejadian manusia. Al-Hallaj berpendapat, bahwa adam sebagai manusia pertama diciptakan tuhan sebagai copy dari dirinya ( shurah min al nafsihi ).

سبحان من اظهر ناسوته ٠ سر سانا لا هوته الثاقب

ثم بدا في خلقه ظاهرا ٠ في صورة الاكل و الشارب

Maha suci dzat yang menampakkan nasutnya. Membukakan rahasia cahaya ketuhannanya yang gemilang. Kemudian kelihtan baginya makhluknya dengan nyata. Dalam bentuk manusia yang makan dan minum.


مُزِجَت روحُكَ في روحي كَما.  تُمزَجُ الخَمرَةُ بِالماءِ الزُلال

فَإِذا مَسَّكَ شَيءٌ مَسَّني .  فَإِذا أَنتَ أَنا في كُلِّ حالِ

Berbaurnya rohmu dalam rohku begaikan bercampurnya khamr dengan air jernih. Maka apabila engkau tersentuh sesuatu, tersentuh pula aku. Karena itu, dalam segala hal kau adalah aku.

Menurut simuruh, syair ini menggambarkan dasar pikiran al-Hallaj akan imajinasi tuhan dalam diri manusia dan jagat raya ini. Terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur dan sirna. Dengan demikian paham hulul ini bersifat figuratif, bukan ril, karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradah tuhan.

Manusia pun berasal dari unsur immaterial. Unsur immaterial yang melekat pada manusia telah membuatnya terpisah dari asalnya sehingga dia menjadi gelisah. Untuk mengatasi keterpisahan dari asal ini harus dilakukan riyadhoh diniyah untuk meneguhkan ketaatan dan ketakwaan, menahan diri dari hasrat-hasrat jasmaniyah agar tidak larut dalam setiap yang bernuansa material. Dengan kesungguhan mengikuti tahapan tasawuf ( maqamat ), seorang sufi akan sampai pada maqam terakhir, hulul, yakni kejadian bahwa nasut tuhan turun menyatu dengan lahut manusia.hulul ini termasuk puncak maqamat, Kalau di al-Ghazali pada tasawuf kebahagiaan puncaknya adalah makrifat pemahaman puncak tentang allah, karena begitu orang sudah mencapai makrifat dunia tidak akan bisa menipu, ketika dunia tidak bisa menipu dia otomatis dia akan bahagia, semua sumber gelisah adalah tentang dunia begitu dunia tidak merisaukanmu kamu lebih cepat untuk bahagia maka dari itu perlu riyadhoh diniyyah (mujahadah). Berikut adalah syair- syair yang terkenal dari al hallaj yang membahas tentang hulul.

# وَلَيسَ أَينٌ بِحَيثُ أَنتَ  # فَلَيسَ لِلأَينِ مِنكَ أَينٌ # فَقُلتُ مَن أَنتَ قالَ أَنت # رَأَيتُ رَبّي بِعَنينِ قَلبي

Aku melihat tuhanku dengan mata hatiku

Aku bertanya : siapa engkau , dia katakan : kamu

Engkau tidak ada dimanapun , karena tidak ada dimanapun

Karena tak ada dimana bagimu

Allah itu tidak ada dimananya , Allah tidak bertempat tidak ada ruang dan fisik yang menampung Allah, memang Allah di luar kerangka ruang dan waktu.

Pada tulisannya al-Hallaj, al-Hallaj membedakan haqq dan al haqq. Al haqq adalah titik dalam ruang dan waktu pada mana Haqq dengan caranya sendiri dan mengikuti rutenya sendiri akan kembali. Al haqq menjadi kebenaran hanya ketika ia dikunjungi oleh Haqq. Dan dalam ketiadaan Haqq, al haqq kehilangan identitasnya, al haqq berhenti mewujud. 

Eksistensi al haqq bergantung pada kontaknya dengan Haqq. Lingkungan apapun yang tidak dikunjungi oleh Haqq adalah lingkungan yang mungkar dan fana dimana ego manusia dihancurkan oleh keberisingan naluriah (instinctive anarchy) . kalau al haqq itu manifestasi dari kebenaran besar dalam kebenaran kecil yang konstekstual. Maka al hallaj berkata ana al haqq bukan ana Haqq akan tetapi Haqq itu tajalli nya.

Ana al haqq konsep realitas yang dibangun al hallaj dari negasi segala yang selain-Nya serta afirmasi tuhan sebagai satu-satunya kebenaran. Inilah la ilaha illa allah (tiada tuhan selain allah) sepenuhnya dan seutuhnya. 

Allah adalah realitas absolut yang melahirkan realitas relatif, yaitu semesta dan seala isinya. Dalam diri manusia, Allah meletakkan citranya. Karena itu ia akan selalu hadir dan “ menampakkan diri “ (tajalli ) ketika manusia mengusahaknnya. Al hallaj dalam perjalanan spiritualnya telah sampai pada tingkat merasakan kehadiran tuhan dalam dirinya. “ bila kau tak mengenali-Nya, kenalilah ayat-ayat Nya. Dan akulah tanda penampakan-Nya ( tajalli). Ana al-haq , akulah kebenaran! Ini karena tak henti-hentinya aku merealisasikan kebenaran itu.” 

Ada kita tergantung pada Allah, yang sejati hanyalah Allah. Allah meletakkan dalam tanahnya adam itu ruhnya, citranya , ketika citra dan ruh ini diambil maka adam tidak ada lagi dan kembali pada Allah. 

Ana al haqq yang ngomong bukan lagi al hallaj tetapi “Allah" , yang diomongkan al hallaj ada beberapa dukungan dari ayat diantaranya : innani ana allah laailaha illa ana fa’budni (thaha : 14) , (fushilat : 54), (qaaf : 16) , (al anfal : 17). 

Al Hallaj juga mempunyai beberapa karya diantaranya adalah Karya Al Hallaj tidak kurang dari 47 banyaknya, diantaranya adalah al ahruful muhaddasah wal azaliyah wal asmaul kulliyah, kitab Al Ushul wal furu’, kitab Sirrul ‘Alam wal mab’uts, kitab Al’Adlu wat tauhid, kitab Ilmu Baqa’ dan Fana, kitab Madhun Nabi wal Masaul A’laa, kitab “ Hua,Hua”, kitab At- Thawasin. 

Kedelapan kitab ini adalah yang terpenting di antara 47 buah karya Al Hallaj, menurut Taftazani, kitab yang paling lengkap dalam menggambarkan paham tasawufnya adalah kitab Thawasin, susunan bahasa yang sulit dipahami, sehingga mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang dimaksudkan penulisnya. 

Kitab tersebut berisi rumus dan istilah yang sukar dimengerti, inti ajaran dari Al Hallaj ini telah dinyatakan dalam bentuk syair (tawasin) dan juga kadang dalam prosan (natsar), dalam susunan kata-kata yang mendalam disekiling tiga hal yakni, hulul ketuhanan ( lahut yang menjelma dalam diri insan (nasut), Al Haqiqah Muhammadiyah (Nur Muhammad, Wahdah Al Adyan. 

Al Hallaj merupakan ulama’ sufi yang konsep pemikirannya sangat berpengaruh terhadap ulama sufi yang lain. Di mana Al Hallaj ini menyadarkan, mengingatkan  ulama’ sufi lain agar kita mencintai dan mengisi hati kita dengan allah , mengajarkan kita untuk kita menyisihkan keegoan kita dan mendekat pada allah sampai maqam tertinggi. Pemikiran Al hallaj mengundang ulama’sufi untuk berkarya yang mana karya nya ini sebagai sindiran agar kita selalu mendekat pada Allah.(*)

 

*Disusun oleh: Khofifa Khurin Iin (Mahasiswa UIN Maliki Malang, 210101110069 PAI –C )

Sumber :

  • Kitab Thawasin karya Al Hallaj
  • Haq, M.Z (2010). Al Hallaj Kisah Perjuangan Total Menuju Tuhan . Bantul: Kreasi Wacana
  • Zuhri, Amat, Ilmu Tasawuf¸ Pekalongan : STAIN, 2004.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama