Santri Harus Berpikiran Maju!

Santri Harus Berpikiran Maju!
Foto: id.pinterest.com

MEDIA IPNU - Santri Harus Berpikiran Maju! “Para Santri Dituntut untuk Mengembangkan Ilmu-Ilmu yang Tertuang dalam Kitab-Kitab Kuning, yang Pastinya Bersumber Dari Al-Qur’an-Hadits untuk Menyelesaikan Berbagai Persoalan Umat”

22 Oktober 1945 merupakan sejarah yang penting terkhusus bagi kalangan santri dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Resolusi Jihad yang dikukuhkan Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari menjadi pancaran cahaya yang terang benderang dalam pengambilan sikap umat Islam waktu itu sehingga lahirlah semboyan; ‘hubbul wathon minal iman’; wajib membela tanah air sampai akhir hayat! Bertahun-tahun setelahnya, terinspirasi dari peristiwa itu, tanggal 22 Oktober mutlak diresmikan sebagai Hari Santri Nasional.

Kini tujuh puluh tujuh tahun sejak kejadian itu, segenap elemen pesantren di Indonesia memperingati Hari Santri di tengah kondisi yang serba ngeri. Dalam situasi recovery pasca pandemi dan cuaca ekstrem, plus dihadapkan dengan pemberitaan media massa tentang ke-absurd-an lembaga penegak hukum hingga kasus KDRT. Belum lagi kekhawatiran atas ancaman resesi ekonomi global dan yang paling baru adalah merebaknya kasus gagal ginjal pada anak-anak secara misterius yang diduga kuat sebab produk farmasi (red: obat sirup) yang berbahaya.

Melihat situasi demikian, mari coba merenung pada momentum Hari Santri ini; bagaimana korelasi dan relevansi-nya dengan kita para santri? Sebagai seorang santri, kami mencoba untuk relfeksi diri sekaligus mengajak sahabat-sahabat santri untuk bersama-sama berpikir kembali. Terutama dalam rangka untuk menyadari dan memahami tugas seorang santri hari ini (red: zaman). Ada sepenggal nasihat yang luar biasa dari seorang Mursyid Thoriqoh, pimpinan tertinggi Jam’iyyah Thoriqoh Al-Mu’tabarah an-Nadhiyyah (JATMAN) yang sekaligus Ketua organsisai Ulama Sufi sedunia, Maulana al-Habib Muhammad Luthfi bin Yahya. Penulis mencoba mengutip nasihat beliau yang telah tertuang dengan epik dalam buku “Jihad Ekonomi dalam Bingkai NKRI” karya Kyai M. Syaifudin Masykuri.

Mari kita simak dengan seksama!

Santri Harus Berpikiran Maju!
Foto: facebook.com

Menurut Habib M. Luthfi bin Yahya santri zaman now tidak cukup hanya menguasai ilmu tauhid, fikih, tasawuf, dan beberapa ilmu agama lainnya. Mengapa demikian? Sebab tantangan zaman ke depan semakin besar. Namun bukan berarti kita meninggalkan ilmu-ilmu ulama salaf yang tertuang dalam kitab-kitab kuning. Harap di sini jangan salah paham! Yang penulis maksud di sini: para santri dituntut untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang tertuang dalam kitab-kitab kuning, yang pastinya bersumber dari Al-Qur’an-Hadits, untuk menyelesaikan berbagai persoalan umat. Banyak keterangan tentang obat-obatan dan kedokteran dalam Al-Qur’an-Hadits yang jika dikembangkan akan sangat bermanfaat bagi masyarakat luas. Di samping obat yang dihasilkan sangat manjur sekaligus halal, juga tanpa efek samping sebab tidak mengandung bahan-bahan kimia. Demikian pula masalah-masalah yang lain. Berikut penjelasan Habib Muhammad Luthfi bin Yahya kepada para santri:

“Karena mau tidak mau, zaman yang semakin ke depan ini. Tantangan kalian (santri) itu banyak. Tantangannya apa? Bukan khilafiyyah (masalah-masalah yang sejak dahulu sudah diperselisihkan antar ulama). Khilafiyyah itu kecil. Masalah talqin, tahlil, maulid, manaqib (yang jadi bahan perdebatan sejak dahulu antara boleh dan tidak) aaah kecil itu. Tapi kamu akan ditantang bagaimana memajukan dunia pertanian. Bagaimana dalam dunia agro bisnis. Di dalam dunia yang lain, sampai peternakan ikan dan sebagainya. Bagaimana kamu bisa menguasai elektro dan sebagainya. Kamu ditantang oleh itu nanti. Jadi kamu tidak akan mungkin menjadi orang yang yas yes, yas yes saja. Paling-paling yes, no, understand, lagi-lagi yes, no, understand (hanya ikut-ikutan).”

“Tolonglah! Kamu akan berhadapan dengan itu nanti. Bagaimana perkembangan ekonomi. Mereka-mereka yang masih membicarakan dan terninabobokan oleh talqin, tahlil, maulid, manaqib itu akan tertinggal. Lambat atau cepat. Bahkan nanti akan ditertawakan oleh para intelektual yang akan berkomentar: “Zaman sudah maju begini kok masih cerita talqinan”. Mereka diperlihatkan TV (atau media massa lainnya) saja sudah terdiam, tidak bisa berbicara. Sekarang ponsel saja bisa kok telepon-teleponan, BBM. Saya bisa terlihat di sana dan yang di sana bisa terlihat di sini (video call). Loh padahal yang membawa adalah frekuensi. Itu belum di alam kubur ya kan? Sudah bisa begitu. Jadi apabila dikatakan atom-atom frekuensi itu bisa membawa gambar kecil sekali bisa sampai, bisa halo-halo, apalagi bacaan Al-Fatihah sampai ke alam kubur? Ya juga bisa halo-halo (Ha ha ha). Kamu anggap apa? Ya kan?”

“Kamu ditantang oleh begitu, dikejar oleh begitu. Nah! persiapkan sedini mungkin ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan yang ada di dalam Al-Qur'an. Saya itu sebetulnya tidak mengambil pengetahuan ini dari luar sama sekali. Saya itu, maaf! Maaf! bukan saya menyindir. Saya bukan orang perguruan tinggi. Saya tidak pernah duduk di perguruan tinggi. Tidak pernah. Sekolah saya sampai SR saja. SR sekolah rakyat , dahulu begitu. Kalau sekarang SD. Sudah! Hanya itu. Ilmu yang lain saya belajar kepada guru saya dan ayah saya sendiri (tentang ilmu pengetahuan dan lain sebagainya). Percaya silahkan! tidak percaya terserah Anda.”

“Kita akan berhadapan dengan banyak tantangan. Belum yang dunia medical, dunia obat-obatan, kedokteran, kamu akan ditantang menghadapi itu nanti. Nah! mampu atau tidak, santri-santri ini dalam menelorkan satu perguruan tinggi kedokteran, pertanian yang hebat, dan sebagainya. Mungkin pada sekarang masalahnya masih syari'ah ushuludin, syari'ah ushuluddin saja. Muter-muter di situ saja. Tapi coba Pondok Lirboyo membuat fakultas kedokteran Lirboyo. Di dalamnya tetap 'ala Ahlus Sunnah wal jama'ah. Melahirkan intelektual-intelektual, ilmuwan-ilmuwan yang top. Pondok Ploso membuat fakultas kimia dan atom. Pondok Termas membuat perguruan tinggi ilmu pertanian. Bisa melahirkan kloning-kloning yang luar biasa. Kemudian perguruan tinggi apa lagi.”

“Sekarang itu sudah waktunya kamu (santri) menampilkan-menampilkan yang begitu. Duduk di hadapan Kyai tetap hormat, adab, tetap begitu, tetapi titelnya Dr (doktor), insinyur, ahli ekonomi, atau ahli ini. Yang ahli pertanian ditanya “Sudah berapa kebun yang Anda kelola ?” Ia menjawab “10 hektar Pak”. Lah! begitu dong! “Alhamdulillah sudah menghasilkan ini, menghasilkan ini. Termasuk dari penghasilan ini, dapat membantu membangun salah satu madrasah ini. Untuk kesejahteraan tenaga pendidiknya sudah tidak butuh proposal lagi. Ssebab sudah tercukupi dari 10 hektar itu”. Wah! begitu dong. Hidup kok proposal!”

“Apa saja sudah. Sampai membuat madrasah. Sampai membuat masjid. Iitu kalau sudah berbicara ketua satu, ketua dua, senang. Tapi titik akhirnya ditunggu saja. Itu keluarnya proposal. Untuk dana urusannya proposal sudah. Loh! mau sampai kapan budaya proposal umat Islam? Kritik loh, kritik ini! Sampai kapan budaya proposal? Sebenarnya malu. Wong kanjeng Nabi Muhammad SAW hijrah yang pertama kali dibangun adalah ekonomi kok! Bukan pedang. Hijrah Nabi Muhammad SAW yang dibangun adalah pedang ekonomi, pedang intelektual, sarana pendidikan, sarana ibadah, sarana dunia pertanian, dan sebagainya. Sehingga orang-orang Arab sendiri takut terboikot sebab hidupnya ekonomi Islam yang luar biasa.”

“Perang badar itu masalahnya di samping agama juga kecemburuan dalam sektor sosial-ekonomi. Kenyataannya memang setelah hijrah, ekonomi dunia Islam luar biasa. Dahulu berhutang, akhirnya berubah bisa menghutangi. Itu topnya dunia Islam begitu. Nah sekarang kita apa? Lagi - lagi, maaf saja, nuwun sewu, nuwun sewu (permisi) IAIN (Institul Agama Islam Negeri) jurusannya hanya tarbiyah-ushuluddin. Begitu lagi! Tarbiyah-ushuluddin. Yang demikian itu (tarbiyah-ushuluddin) tetap berjalan. Silahkan! Tetapi diharapkan di dalam IAIN ada institut ataupun perguruan tinggi kedokteran. Masa tidak bisa? Ayo Kyai! Anda yang hubungannya luas, itu dan ini, buat lembaga pendidikan yang demikian!”

“Tanah saya itu akan menjadi pondok. Menjadi perguran tinggi. Walaupun masih sedikit berjangka dalam membuatnya. Sampai 30 hektar itu luasnya. Sebelum 30 hektar belum saya buat. Sebab nanti di situ ada perguruan tinggi kedokteran. Saya ingin berusaha itu. Sekolah perguruan tinggi kedokteran Sunan Gunung Jati. Wah! hebat kan? Yang satu perguruan tinggi Sunan Bonang. Yang mengajar siapa? Doktor-doktor dari (pondok) Lirboyo, dari Ploso, dari Termas. Kalau memeriksa pasien menggunakan kopyah putih, rapi, wajahnya bercahaya. Yang begitu dong! Memakai baju kurung semua, nganggone klambi potong kurung kabeh, stetoskopnya diletakkan di sini (dikalungkan), mulai memeriksa pasien, lantas berkata:

“Assalamu'alaikum, Ibu , bagaimana Ibu, baik? Kok bisa menginap di rumah sakit ini ada apa Bu?”

“Saya Sakit”

“Jadi Ibu sakit? Yang mengatakan Ibu sakit siapa? Atau Bapak sakit siapa?”

“Saya itu kemarin begini, begitu”

“Oh tidak, tidak begitu. Ringan penyakitnya Bu, kembali kepada Allah, yang besar hati”

“Dokter-dokter Lirboyo itu!”

“Yang satu lagi, dokter spesialis kandungan. Dari mana? Kedokteran Ploso. Wah! Hebat! Yang satu lagi Termas. Rapi-rapi pakaiannya, sopan-sopan, pandai membuat pasiennya gembira, senang, tetap kembali kepada kehendak Allah. Dalam memotivasi pasien mereka berkata “Jangan takut Bu! Penyakit itu bukan Tuhan kok Bu. Sehat itu bukan Tuhan. Sehat itu tidak bisa memanjangkan umur. Sehat itu bukan Tuhan. Penyakit juga tidak bisa memperpendek umur manusia. Tidak bisa’.”

“Yang mengatakan sehat bisa memanjangkan umur itu siapa? Syirik itu jika tidak kebetulan. Jangan lagi-lagi diarahkan ke kuburan (ziarah kubur). Kuburan kok jadi sasaran. Siapa yang meyakini sehat bisa memanjangkan umur itu syirik. Lha sebabnya apa? Sebab jika demikian, sehat itu dianggapnya punya kekuasaan. Bisa memanjangkan umur (padahal kekuasaan hanya milik Allah). Sehat itu hanya sarana. Ikhtiyar (usaha) saja untuk manjangkan umur. Tidak bisa memanjangkan umur. Tidak bisa! Memanjangkan umur itu semata urusan Allah Ta'ala. Mereka (para dokter lulusan pesantren) kembali berkata:

“Jadi, ibu jangan takut kena penyakit ini, penyakit ini. Mari kita ikhtiyar bersama. Saya yang mengobati ibu dan ibu yang berdoa supaya cepat sembuh” Begitu dong!

“Lagi-lagi ketemu. Jurusannya apa? Tarbiyah. Satunya ushuludin. Tarbiyah-ushuludin. Aduuuh! Bagus itu! Bagus! Tetapi kembangkan! Ushuludin itu kita kembangkan. At-tarbiyyah kita kembangkan. Seperti at-tarbiyyalh fit-thibbiyyah (kedokteran), at-tarbiyyah fi shondaliyah (obat-obatan), at-tarbiyyah fi tijariyyah (perdagangan), at-tarbiyah fi mazraiyyah (pertanian). Luar biasa! Sudah waktunya! Qümü ayyuhasy syabâb (bangunlah wahai para pemuda)! Bangun kamu! Nglilir kamu! Jangan cuma tidur! Bangkit untuk ilmu!”

Sekarang sudah saatnya para santri untuk lebih mendalami lagi khazanah keilmuan Al-Quran. Sebab Al-Quran adalah sumber dari segala khazanah keilmuan. Dari Al-Quran, bukan ilmu agama saja yang bisa kita dapatkan. Tetapi juga berbagai ilmu seperti kedokteran, ekonomi, pertanian, kimia, fisika, maupun ilmu-ilmu lainnya. Tentunya dengan dibekali ilmu alat seperti nahwu-shorof-balagoh-mantiq serta ilmu-ilmu fikih, tasawuf, dan lain-lain. Ditambah lagi dengan ilmu yang diperoleh dari perguruan tinggi, sebenarnya seorang santri adalah orang yang sangat ideal. Santri adlaah sosok yang diharapkan mampu membedah khazahan keilmuan dalam Al-Qur’an. Maka tak heran jika Al-Mukarrom KH Yahya sudah mewanti-wanti para santri sejak dahulu dengan dawuh beliau yang sangat masyhur:

“Nomer siji ngaji, nomer loro sekolah, InsyaAllah kasil karone”

Sebab segala sumber ilmu ada di dalam Al-Quran. Sementara Al-Quran tidak mungkin dipahami kecuali dengan ilmu (ngaji). Maka sungguh-sungguhlah dalam mengaji! Gunakan ilmu dari sekolah (perguruan tinggi) untuk menunjang dalam mengaji. Karena ngaji adalah yang utama. Teriring harapan semoga para santri dapat menjadi insan-insan yang bermanfaat dimanapun dan kapanpun.

Selamat Hari Santri

Sumber: gadingpesantren.id

Baca juga:


Santri Harus Berpikiran Maju! Ini Info Santri Harus Berpikiran Maju! Jadi Santri Harus Berpikiran Maju! Lalu Santri Harus Berpikiran Maju! Maka Santri Harus Berpikiran Maju! So, Santri Harus Berpikiran Maju!

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama