Cerita di Balik Berdirinya Gedung PBNU Kramat Raya 164

Perkuat Organisasi, IPNU Jakarta Selatan Gelar Safari Makesta

MEDIA IPNU – Belakangan KH Saifuddin Zuhri yang saat itu menjabat Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) baru mengetahui bahwa dibangunnya Gedung PBNU di Jalan Kramat Raya Nomor 164 Jakarta Pusat karena alasan dekat dengan pusat kuliner-kuliner khas seperti sop, gulai kambing, nasi kebuli, dan sate kambingnya yang lezat.

Ceritanya, pada akhir tahun 1956, Kiai Saifuddin Zuhri merasa kantor yang ditempati PBNU di Jalan Menteng Raya sudah tidak representatif lagi. Dalam suatu percakapan di rumah makan (warung) di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, Kiai Saifuddin meminta bantuan Kiai Muhammad Dahlan untuk mencarikan kantor baru yang cukup representatif untuk ditempati PBNU.

Dalam percakapan di warung favorit yang menyediakan kuliner khas kesukaan mereka, hadir pengusaha kaya Djamaluddin Malik dan intelektual terkemuka NU Subchan ZE. Masa itu, warung di Jalan Raden Saleh tersebut dikenal sebagai pusat kuliner yang kerap dikunjungi keempat tokoh NU itu karena masakan sop, gulai, dan sate kambingnya yang lezat. (Abdul Mun’im DZ, Fragmen Sejarah NU, 2017: 71).

Beberapa minggu kemudian, Kiai Dahlan berjumpa dengan KH Saifuddin Zuhri dan menyampaikan bahwa ia telah berhasil mendapatkan gedung yang layak dijadikan kantor PBNU, terletak di Jalan Kramat Raya Nomor 164. Namun, ketika melihat bangunan fisiknya, Kiai Saifuddin merasa kurang cocok dengan gedung itu. Baginya, gedung tersebut hanya layak digunakan sebagai toko, bukan potongan kantor organisasi sebesar NU.

Namun, Kiai Dahlan meyakinkan bahwa letak gedung itu cukup strategis dan harganya hanya Rp1.250.000 yang dapat diangsur dalam dua kali pembayaran. Perlu diketahui bahwa Jalan Kramat raya merupakan kawasan paling bergengsi saat itu. Semua partai besar sejak dari PNI, NU, Masyumi, PKI berada di kawasan tersebut, termasuk beberapa partai politik lain seperti Parkindo.

KH Muhammad Dahlan merupakan tokoh yang sangat berjasa dalam menyediakan dan menjaga kantor PBNU. Hal itu ia lakukan jauh sebelum menjadi Ketua Umum PBNU dan Menteri Agama menggantikan KH Saifuddin Zuhri. Ketika Surabaya direbut Belanda akibat meletusnya perlawanan rakyat dan kaum santri melawan penjajah pada 10 November 1945, Kiai Dahlan-lah yang memindahkan kantor PBNU yang semula terletak di Jalan Bubutan Surabaya ke Jalan Pengadangan Nomor 3 Pasuruan.

Setelah beberapa lama, daerah Pasuruan tersebut juga tidak aman dari gangguan Belanda, maka sebelum terjadi Agresi Belanda I di tahun 1947, kantor PBNU pindah pada tahun 1946 dari Pasuruan ke arah barat yang lebih aman yaitu Jalan Dr Sutomo Nomor 9 Madiun (Lihat KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, 2013). Pada bulan Mei 1947, NU sempat melaksanakan Muktamar di kota ini.

Kala itu, dengan ketajaman instingnya, KH Hasyim Asy’ari sebelum wafat pada 25 Juli 1947 mengingatkan bahwa kekuatan PKI telah merajalela, karena itu pemerintah dan rakyat Indonesia perlu mewaspadi pergerakan PKI. Setahun kemudian, meletus pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948 dan tiga bulan berikutnya disusul Agresi Militer Belanda II.

Mengingat situasi yang tidak aman dan penuh ancaman tersebut, maka kantor PBNU kembali pindah ke Surabaya. Setelah terjadi politik besar pascapemilu 1955, kantor NU dipindah ke ibu kota Jakarta tepatnya di Jalan Menteng Raya Nomor 22. Kepindahan kantor NU ke ibu kota itu lancar berkat jasa H Djamaluddin Malik, seorang pengusaha NU di Jakarta.

Sebelum menempati gedung megah delapan lantai di Jalan Kramat Raya 164, kantor PBNU juga sempat singgah selama dua tahun di Jalan Agus Salim Jakarta Pusat, dari bulan Januari 2000 hingga bulan November 2001 karena sedang proses pembangunan kembali (renovasi). Gedung PBNU Kramat Raya dibangun pada masa kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid yang saat itu menjabat Presiden ke-4 RI dan juga Ketua Umum PBNU.

Pada awal tahun 2012 lalu, untuk meningkatkan kinerja perangkat organisasi, PBNU membangun gedung baru di Jalan Taman Amir Hamzah Nomor 5, Menteng, Jakarta Pusat (samping Masjid Matraman). Gedung empat lantai tersebut menjadi lokasi utama kampus Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) dan kantor sejumlah lembaga dan badan otonom NU.

Penulis: Fathoni Ahmad 
Editor: Abdullah Alawi

 

__________________________________________

Artikel ini telah terbit di NU Online pada tanggal 30 November 2019 pukul 11:30 WIB.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama