![]() |
| Ketika Islah Gagal: Muktamar Luar Biasa sebagai Jalan Terakhir NU | Ilustrasi: AI |
MEDIA IPNU - Musyawarah Kubro di Lirboyo bukan sekadar pertemuan elite organisasi, melainkan manifestasi paling serius dari ikhtiar Nahdlatul Ulama untuk menyelamatkan marwah jam’iyyah di tengah badai konflik internal. Tiga keputusan yang dihasilkan—islah, penyerahan mandat kepada Mustasyar, hingga opsi Muktamar Luar Biasa (MLB)—menunjukkan bahwa NU masih menempatkan musyawarah sebagai poros utama penyelesaian masalah. Namun, justru di titik inilah pertanyaan krusial muncul: apa yang terjadi jika islah benar-benar gagal dan MLB tak terelakkan?
Secara prinsip, islah adalah ruh penyelesaian konflik dalam
tradisi pesantren dan NU. Islah bukan hanya perdamaian administratif, melainkan
pemulihan adab, pengendalian ego, dan kembalinya orientasi khidmah. Jika dalam
tenggat waktu yang telah disepakati islah tidak tercapai, maka itu menjadi
sinyal bahwa konflik telah bergeser dari soal mekanisme menjadi soal legitimasi
dan kekuasaan. Dalam kondisi demikian, NU dipaksa menggunakan jalan
konstitusional paling keras: Muktamar Luar Biasa.
MLB: Konstitusional, tapi Berisiko
Secara organisatoris, MLB adalah langkah sah. Ia diatur, diakui,
dan memiliki preseden dalam sejarah organisasi. Namun, sah secara aturan tidak
selalu berarti aman secara sosial-organisasi. MLB berpotensi membuka kembali
luka yang lebih dalam jika tidak dilandasi kesadaran kolektif untuk tunduk pada
hasil akhir.
Risiko pertama adalah fragmentasi psikologis warga NU. Ketika
elite berhadap-hadapan dalam forum sebesar MLB, resonansinya tidak berhenti di
ruang sidang. Ia menjalar ke pesantren, ke struktur daerah, bahkan ke jamaah
akar rumput yang selama ini hanya ingin NU tetap teduh dan mengayomi.
Risiko kedua adalah preseden politik internal. Jika setiap
konflik elite berujung MLB, maka stabilitas kepemimpinan NU ke depan akan
selalu berada di bawah bayang-bayang delegitimasi. NU bisa terjebak dalam
siklus konflik struktural yang melelahkan, menjauh dari khittah pelayanan umat.
Namun demikian, MLB juga bisa menjadi obat pahit yang
menyembuhkan, jika—dan hanya jika—semua pihak sepakat menjadikannya jalan
terakhir, bukan arena pembuktian kekuatan. MLB harus ditempatkan sebagai sarana
rekonsolidasi, bukan balas dendam politik.
Peran Mustasyar dan Etika Tunduk pada Forum
Musyawarah Kubro secara bijak menempatkan Mustasyar sebagai
penyangga terakhir sebelum MLB. Ini menunjukkan bahwa NU masih memercayai
hikmah para sesepuh sebagai rem konflik. Jika mandat diserahkan kepada
Mustasyar, sesungguhnya itu adalah jalan paling elegan: konflik diselesaikan
oleh figur yang relatif berada di atas kepentingan struktural.
Namun bila mandat pun tak diserahkan, maka MLB menjadi konsekuensi
etis dari pembangkangan terhadap musyawarah. Dalam konteks ini, yang diuji
bukan sekadar kepemimpinan, melainkan akhlak jam’iyyah: sejauh mana elite NU
bersedia tunduk pada keputusan bersama.
Menang atau Utuh?
Sebagai santri dan kader NU, penulis memandang bahwa
pertanyaan terpenting hari ini bukanlah siapa yang benar, melainkan apakah NU
akan tetap utuh. Islah adalah jalan terbaik, Mustasyar adalah penyangga
kebijaksanaan, dan MLB adalah pintu darurat. Jika pintu darurat itu harus
dibuka, maka semua pihak wajib masuk dengan kepala dingin dan keluar dengan
satu tekad: menerima hasil akhir tanpa syarat.
Dalam tradisi NU, musyawarah adalah panglima, bukan kemenangan faksi. Jika MLB benar-benar digelar, maka ia harus menjadi akhir konflik, bukan awal perpecahan baru. Sebab NU terlalu besar dan terlalu berharga untuk dikorbankan demi ego segelintir elite.(SD)
