
Hikmah dari Haflah: Ilmu adalah Amanah, Adab sebagai Mahkotanya | Dok. Riqi Jauhari
MEDIA IPNU - Pagi itu, cahaya matahari menembus jendela kaca aula Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan. Udara terasa sejuk, penuh rasa syukur. Di dalam ruangan, para santri duduk rapi bersarung, sementara deretan tamu undangan, wali santri dan alumni mengisi tempat duduk yang tersusun rapi. Spanduk besar bertuliskan “Haflah at-Tasyakkur lil Ikhtitam” membentang di belakang panggung, menjadi saksi kebahagiaan sekaligus refleksi akhir tahun belajar.
Di
atas panggung, Romo Kyai Ahmad Taufiq, selaku pengasuh pondok yang juga dosen
di kampus itu, berdiri dengan wajah teduh dan senyum khasnya. Suaranya tenang
namun berwibawa, menembus kesunyian pagi.
“Al-‘ilmu
amānah, wal adabu tājuhu.”
Ilmu adalah amanah, dan adab adalah mahkotanya.
Kalimat
itu meluncur pelan namun kuat, membuat hadirin seolah berhenti sejenak untuk
merenung. Romo Kyai menatap para santri dengan lembut, lalu melanjutkan, “Ilmu
bukan sekadar pengetahuan yang disimpan di kepala, tapi amanah yang harus
dijaga dengan adab dan keikhlasan.”
Suasana
aula menjadi hening. Sebagian santri menunduk, sebagian lagi mencatat. Tak
sedikit yang menitikkan air mata haru. Sebab di balik perayaan haflah itu,
tersimpan perjalanan panjang para penuntut ilmu, malam-malam panjang mengaji,
hari-hari penuh ujian, serta nasihat para kiai yang terus menuntun.
Pesan
Romo Kyai pagi itu bukan hanya sambutan seremoni, tetapi nasihat hidup.
Falsafah “al-‘ilmu amānah, wal adabu tājuhu” telah lama menjadi fondasi
moral dalam tradisi pesantren. Ia mengingatkan bahwa ilmu adalah titipan suci
dari Allah, dan adab adalah mahkota yang membuatnya indah. Tanpa adab, ilmu
kehilangan arah; tanpa amanah, ilmu kehilangan makna.
KH.
Ahmad Shiddiq pernah mengatakan, “Orang berilmu tanpa rasa tanggung jawab
ibarat pedang di tangan anak kecil. Bisa melukai siapa saja, bahkan dirinya
sendiri.” Itulah sebabnya, di pesantren, santri diajarkan bahwa menuntut
ilmu bukan sekadar perkara otak, tetapi juga hati.
Pandangan
ini berpijak pada Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 72:
“Sesungguhnya
Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, semuanya
enggan memikul amanah itu dan mereka khawatir mengkhianatinya, tetapi manusia
memikulnya...”
Bagi
santri, amanah itu mencakup iman, moral, dan ilmu. Maka siapa pun yang belajar,
sejatinya sedang menerima tanggung jawab besar untuk menjaga kebenaran,
menebarkan manfaat, dan menjauhi kesombongan.
KH.
Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim menulis, “Adab
lebih tinggi daripada ilmu, sebab adab menjaga ilmu, sedangkan ilmu belum tentu
menjaga adab.” Karena itu, di pesantren, santri lebih dulu diajari cara
menghormati guru, cara duduk yang sopan, cara berbicara dengan takzim sebelum
mengkaji kitab.
Dalam
sambutan itu, Romo Kyai Ahmad Taufiq juga menyinggung tantangan zaman modern.
“Sekarang banyak orang cerdas, tapi tidak sabar. Banyak yang pintar, tapi lupa
sopan santun. Karena itu, santri harus tampil membawa kesejukan ilmu dan
keindahan adab,” ujarnya disambut anggukan para hadirin.
Pesan
itu senada dengan nasihat Gus Mus (KH. Mustofa Bisri):
“Sekarang
banyak orang berilmu, tapi sedikit yang beradab. Padahal tanpa adab, ilmu
kehilangan ruhnya.”
Bagi
Romo Kyai, santri adalah penjaga keseimbangan antara akal dan hati. Mereka
tidak hanya membaca teks, tetapi juga menafsirkan makna kehidupan di baliknya.
Ketika santri meneliti sains, mereka sedang membaca ayat-ayat kauniyah,
tanda kebesaran Allah di alam semesta.
Sebagaimana
diingatkan Buya Hamka, “Ilmu yang tidak menumbuhkan rasa takut kepada Allah
hanyalah kumpulan kata tanpa makna.” Inilah esensi pendidikan pesantren
yang sesungguhnya: menjadikan ilmu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah,
bukan sekadar alat untuk mencari kedudukan dunia.
Pagi
itu, sebelum acara ditutup, Romo Kyai menegaskan kembali pesannya, “Santri masa
kini bukan hanya yang tinggal di pondok. Siapa pun yang menuntut ilmu dengan
hati bersih dan niat tulus, dialah santri. Karena santri sejati adalah penjaga
amanah ilmu.”
Ucapan
itu disambut tepuk tangan panjang. Para santri tersenyum sambil menatap satu
sama lain, seolah mengerti bahwa di balik syahadah kelulusan, mereka sedang
membawa beban mulia: menjaga ilmu dengan adab.
Falsafah
al-‘ilmu amānah, wal adabu tājuhu akhirnya bukan sekadar semboyan di
dinding pesantren, melainkan napas hidup yang terus mengalir. Ia mengingatkan
bahwa ilmu tanpa adab akan menyesatkan, dan adab tanpa ilmu akan menumpulkan.
Keduanya harus berjalan beriringan, agar ilmu menjadi cahaya, dan adab menjadi
pelindungnya.
Sebagaimana
pesan terakhir Romo Kyai pagi itu yang kelak banyak dikutip para santri:
“Belajarlah
setinggi langit, tapi jangan lupa menundukkan hati ke bumi.”
Sebab
di sanalah letak kemuliaan sejati ilmu: ketika ia tidak hanya menerangi akal,
tetapi juga menuntun jiwa.
Penulis : Riqi Jauhari
Afiliasi : Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan