MEDIA IPNU - Tidak setiap hari kita menyaksikan rumah besar bernama Nahdlatul Ulama berguncang. Tetapi hari-hari ini, guncangan itu terasa hingga ke serambi masjid dan ruang tamu umat. Pemberhentian Gus Yahya dari kursi Ketua Umum PBNU bukan sekadar pergantian pejabat—ia adalah babak baru dari sebuah drama besar yang menyingkap watak sejati organisasi: bahwa NU, pada akhirnya, berdiri di atas aturan yang ia sepakati sendiri, bukan pada sentimen siapa pun.
PBNU menilai ada pelanggaran
serius. Tuduhan-tuduhan itu menyebar, diperdebatkan, dipatahkan, lalu
dihidupkan kembali. Namun di tengah riuh itulah satu hal paling senyap justru
paling menentukan: mekanisme bekerja. AD/ART berjalan tanpa teriak,
pasal-pasal bergerak tanpa kamera. Dan ketika sebuah pasal mengatakan “berhalangan
tetap”, organisasi pun mengganti nahkoda. Sesederhana itu. Setegas itu.
Begitulah KH Zulfa Mustafa
hadir sebagai Pejabat Ketua Umum. Bukan sosok yang muncul dari manuver gelap,
tetapi dari garis prosedur yang selama ini kita sepakati sebagai pagar agar NU
tetap berdiri di tengah riuh dunia.
Tetapi organisasi bukan
sekadar teks. Ketika benturan interpretasi menjadi keras, NU sudah menyiapkan
ruang yang lebih hening: Majelis Tahkim. Di sana, sengketa tidak
diadukan, tetapi diurai. Tidak ada sorak-sorai, tidak ada framing; yang ada
adalah musyawarah para kiai yang menatap persoalan dengan ketenangan yang tidak
dimiliki dunia luar.
Dan di atas seluruh ruang
formal, ada satu kata yang sejak dulu menjaga NU tetap utuh: islah. Di
tangan para kiai, islah bukan sekadar kata kerja, tapi cara menjaga martabat.
Konflik paling keras sekalipun bisa luluh ketika para pemimpin duduk dalam satu
ruangan dan meletakkan kepentingan organisasi di atas semua perasaan pribadi.
Kini, NU berada di
persimpangan: apakah kita membiarkan perbedaan tafsir mengoyak rumah ini dari
dalam, atau kita kembali pada kearifan para muassis yang selalu menempatkan
adab sebagai pagar tertinggi?
Sejarah NU mengajarkan satu
hal: organisasi ini tumbuh bukan karena semua orang selalu setuju, tetapi
karena perbedaan selalu diakhiri dengan kebesaran hati.
Badai hari ini akan berlalu.
Yang tersisa nanti hanya dua hal: apakah aturan telah ditegakkan dengan jujur,
dan apakah kita cukup dewasa untuk menjaga persaudaraan.
NU terlalu besar untuk
tumbang oleh satu konflik. Tetapi NU bisa terluka jika warganya lebih
mempercayai kegaduhan daripada hikmah. Saatnya kembali tenang, kembali tertib,
kembali adab.
Karena NU—lebih dari apa pun—adalah rumah yang diwariskan para kiai. Dan rumah itu harus tetap berdiri.(sd)
