![]() |
| Menimbang Pemberhentian Gus Yahya dan Penetapan Pj. Ketum PBNU KH Zulfa Mustafa |
MEDIA IPNU - Dalam tradisi Nahdlatul Ulama, setiap langkah organisasi idealnya berangkat dari kejernihan hati, ketelitian fiqih organisasi, dan keteguhan pada prinsip ahlussunnah wal jamaah yang menjunjung ketertiban (nizham) serta kehormatan (muru’ah). Maka, dinamika yang terjadi dalam proses pemberhentian Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dan penetapan KH Zulfa Mustafa sebagai Pejabat (Pj.) Ketua Umum perlu ditempatkan dalam bingkai adab, ketenangan, dan pemahaman terhadap perangkat aturan organisasi yang menjadi pijakan seluruh keputusan.
Latar Belakang dan
Alasan Pemberhentian Menurut Perangkat Organisasi
Proses
pemberhentian ini berangkat dari sejumlah dugaan pelanggaran yang dinilai telah
memenuhi unsur “pemberhentian tetap” sebagaimana diatur dalam Peraturan
Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2025 tentang Pemberhentian Fungsionaris,
Pergantian Antar Waktu, dan Pelimpahan Fungsi Jabatan. Di antara alasan yang
diajukan ialah:
1. Dugaan
keterlibatan dalam jaringan Zionisme Internasional,
2. Mengundang
narasumber yang dinilai pro-Zionis, sehingga dianggap dapat merusak nama baik
Perkumpulan NU,
3. Dugaan
pelanggaran terhadap Qanun Asasi NU dan prinsip Aswaja An-Nahdliyah,
4. Pemenuhan
unsur pemberhentian tidak hormat, yaitu tindakan yang dinilai mencemarkan nama
baik Perkumpulan sebagaimana tertulis dalam Pasal 8 Perkum NU Nomor 13 Tahun
2025.
Perlu
digarisbawahi bahwa poin-poin tersebut merupakan alasan formal yang digunakan
oleh pihak PBNU dalam menjustifikasi langkah organisatoris, bukan penetapan
hukum pidana atau moral yang sifatnya final. Spirit adab mengajarkan kepada
kita untuk tidak menambah, mengurangi, atau melampaui batas dalam menilai
seseorang, terlebih seorang kiai yang selama ini menjadi teladan banyak warga
nahdliyin.
![]() |
| Gus Yahya |
Landasan Hukum:
AD/ART NU dan Peraturan Perkumpulan
Dalam setiap
situasi bergejolak, warga NU selalu kembali kepada dua pedoman: kata kiai dan
teks keputusan organisasi. Dalam hal ini, AD ART dan Peraturan Perkumpulan
menjadi kompas utama.
Menurut ART NU
Pasal 49, pengisian jabatan Ketua Umum ketika terjadi “berhalangan tetap” sudah
diatur dengan sangat jelas. Perkum NU No. 13 Tahun 2025 memperkuat definisi
“berhalangan tetap” sebagai kondisi ketika seorang fungsionaris diberhentikan
tetap, sehingga menimbulkan kekosongan jabatan.
Dengan demikian,
ketika keputusan pemberhentian tetap dinyatakan berlaku, maka mekanisme
berikutnya berjalan otomatis:
Wakil Ketua
Umum—dalam hal ini KH Zulfa Mustafa—diangkat sebagai Pejabat Ketua Umum (Pj.
Ketum).
Penegasan ini
sesuai dengan:
•
ART Pasal 49 ayat (1):
“Apabila Ketua Umum berhalangan tetap, maka Wakil Ketua Umum menjadi Pejabat
Ketua Umum.”
•
Perkum 13/2025 Pasal 4
dan Pasal 10–12, yang mengatur penetapan pejabat melalui Rapat Pleno dan
menyebutkan bahwa pejabat tersebut melanjutkan sisa masa khidmat kepengurusan.
Dengan demikian,
secara struktural-organisatoris, keputusan pergantian ini dipahami sebagai
penerapan teknis dari aturan yang sudah disepakati dalam Muktamar.
Menimbang
Keputusan dengan Kacamata Keorganisasian
Di lingkungan
pesantren, kita mengenal pepatah: “Al-hukmu yadûru ma‘a ‘illatihi wujûdan wa
‘adaman”—keputusan berjalan sesuai sebab yang melatarbelakanginya. Begitu
pula halnya dalam organisasi sebesar PBNU.
Ketika tindakan
seorang fungsionaris dianggap memenuhi unsur pelanggaran yang berdampak pada
kehormatan Perkumpulan, maka organisasi memiliki kewajiban menjaga marwah, ketersambungan
sanad perjuangan, serta keutuhan jamaah. Namun di sisi lain, prinsip tasamuh
(toleransi), tawaqquf (berhati-hati dalam menilai), dan ta'addub kepada para
kiai juga harus tetap dijunjung.
Oleh sebab itu,
keputusan pemberhentian ini idealnya dipahami bukan sebagai ajang saling
mengalahkan, melainkan sebagai bentuk ijtihad jamai’ (ijtihad kolektif) dalam
merawat organisasi.
Penetapan KH Zulfa
Mustafa sebagai Pj. Ketua Umum
Penunjukan KH
Zulfa Mustafa sebagai Pj. Ketua Umum sesuai dengan Perkum No. 13 Tahun 2022
Pasal 10 Ayat (3): pejabat yang dapat diangkat sebagai Pengganti Ketua Umum
adalah salah satu Wakil Ketua Umum Tanfidziyah yang ada dalam susunan PBNU saat
itu.
Rapat Pleno yang
mengesahkan keputusan ini pun wajib memenuhi kuorum sebagaimana diatur dalam
aturan yang sama: dihadiri Mustasyar, Syuriyah lengkap, Tanfidziyah harian,
serta unsur badan otonom.
Dengan demikian,
secara formal keputusan ini bukanlah langkah spontan atau individual, tetapi
hasil rapat resmi PBNU.
Menjaga Keutuhan Jam’iyyah
dalam Situasi Berbeda Pandangan
Sebagaimana sering
dipesan para masyayikh, organisasi sebesar NU akan selalu diuji dengan
perbedaan pandangan. Namun NU bertahan lebih dari satu abad karena memiliki
budaya:
•
Musyawarah,
•
Mendahulukan maslahat jamaah,
•
Menghindari fitnah dan
kata-kata kasar,
•
Mengembalikan perkara
kepada aturan organisasi,
•
Tidak menjatuhkan
martabat kiai atau warga nahdliyin, betapa pun keras perbedaan terjadi.
Maka dalam
menyikapi dinamika ini, warga NU idealnya menahan diri dari ujaran yang
menambah gaduh. Sikap paling tepat ialah:
mengikuti
keputusan resmi organisasi sembari tetap menghormati semua pihak yang terlibat.
Penyelesaian
Perselisihan Berdasarkan Perkum NU Nomor 14 Tahun 2025: Majelis Tahkim sebagai
Mekanisme Damai
Dalam situasi di
mana terjadi perbedaan pandangan atau perselisihan antar-fungsionaris, NU telah
menyiapkan perangkat khusus yang berfungsi sebagai “ruang penjernihan”—yakni
Majelis Tahkim, sebagaimana diatur dalam Peraturan Perkumpulan NU Nomor 14
Tahun 2025 tentang Penyelesaian Perselisihan Internal.
Perkum ini
menegaskan bahwa perselisihan internal adalah sengketa yang timbul akibat
keputusan organisasi. Maka mekanisme penyelesaiannya bukan melalui debat
terbuka, bukan pula melalui tekanan politik, melainkan melalui thariqah yang
sudah diatur, demi menjaga ketenangan jamaah dan kehormatan para kiai.
(a) Majelis Tahkim
sebagai Wadah Penyelesaian
Pasal 4 Perkum ini
secara jelas menyebutkan:
“Untuk menyelesaikan
perselisihan internal dibentuk satu wadah yang bernama Majelis Tahkim Nahdlatul
Ulama…”
Majelis inilah
yang menjadi rujukan resmi ketika terjadi ketegangan pandangan atau keberatan
atas sebuah keputusan. Dengan demikian, ia memiliki kedudukan sebagai lembaga
penengah yang bersifat objektif dan berada langsung di bawah PBNU.
Susunan Majelis
Tahkim ditunjuk oleh PBNU melalui Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah (Pasal
5), serta dipimpin oleh Rais ‘Aam secara ex-officio sebagai Ketua Majelis
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2). Hal ini menunjukkan dua hal
penting:
1. Majelis
Tahkim berada dalam garis otoritas keulamaan tertinggi di NU, sehingga
keputusan-keputusannya tidak dapat dipandang ringan.
2. Majelis
Tahkim dipahami sebagai lembaga ulama based, bukan sekadar meja hukum
administratif, sehingga pendekatannya pun didasarkan pada adab, musyawarah, dan
nilai Aswaja.
Dalam Majelis
inilah berbagai alat bukti, fakta, kronologi, dan argumen diperiksa secara
objektif oleh para hakim yang memiliki kewenangan sesuai Pasal 1 angka 4.
(b) Mekanisme yang
Mengedepankan Keteduhan
Dengan adanya
Majelis Tahkim, NU mengajarkan bahwa cara penyelesaian masalah bukanlah dengan
saling serang, bukan dengan narasi liar, tetapi dengan kembali ke proses:
•
diperiksa,
•
dimusyawarahkan,
•
diputuskan dengan
mempertimbangkan maslahat jam’iyyah.
Majelis Tahkim
menghadirkan pendekatan yang lebih teduh, lebih tertib, dan lebih beradab,
sehingga tidak memunculkan luka berkepanjangan di antara keluarga besar NU.
Dalam konteks
pemberhentian dan penetapan pejabat ketua umum, Majelis Tahkim dapat menjadi
rujukan jika ada pihak yang mengajukan keberatan atas prosedur, alasan, maupun
keputusan. Dengan demikian, setiap perselisihan berjalan dalam jalur organisasi
yang sah, bukan melalui konflik terbuka yang merugikan marwah para kiai dan
jamaah.
Islah sebagai
Jalan Terbaik: Solusi Beradab dalam Tradisi Para Kiai
Lebih jauh dari
sekadar mekanisme formal, NU sejak berdirinya diajarkan oleh para muassis agar
setiap persoalan—betapa pun rumitnya—diusahakan penyelesaiannya melalui islah.
Dalam banyak pesantren, para kiai selalu mengingatkan: “Al-ishlah khair”—islah
itu lebih utama.
Islah bukan
sekadar berdamai, tetapi memulihkan hubungan hati. Ia adalah kesediaan untuk
saling memahami, saling memaafkan, dan mengembalikan suasana persaudaraan.
Karena sebuah organisasi sebesar NU bukan hanya berdiri di atas struktur, tetapi
juga di atas ukhuwah.
Dalam kasus apa
pun, termasuk pergantian Ketua Umum PBNU, islah selalu menjadi jalan yang lebih
mulia. Bila kedua pihak bersedia duduk bersama, memaafkan, dan kembali ke rel
perjuangan, maka kecewa para jamaah akan berubah menjadi ketenangan, dan
kegaduhan akan berubah menjadi keberkahan.
Islah sebagai
Kelembutan Hati Para Kiai
Para kiai sepuh
selalu mengajarkan bahwa kebesaran seseorang tidak diukur dari jabatan yang ia
pegang, tetapi dari kelapangan hati yang ia miliki. Maka bila di antara dua
pihak dalam perselisihan salah satu berlapang dada atau legowo, hal itu bukan
kekalahan, tetapi kemenangan akhlak.
Legowo menerima
keputusan organisasi adalah bagian dari taslim—ketundukan pada kesepakatan
bersama yang telah ditetapkan oleh jamaah al-mu’tabarah. Dan bersedia
mengulurkan tangan untuk berdamai merupakan tanda kematangan spiritual seorang
kiai.
Sebab, sebagaimana
sering dikatakan para masyayikh: “Man
taraka syai’an lillah, ‘awwadhahullahu khairan minhu.” Orang yang meninggalkan sesuatu
demi Allah akan diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik.
NU Kuat Karena
Adab, Bukan Karena Konflik
Pada akhirnya,
penyelesaian perselisihan internal NU—baik melalui Majelis Tahkim maupun
melalui jalur islah—menunjukkan bahwa NU memiliki dua sayap: sayap tertib organisasi
dan sayap keluhuran akhlak. Keduanya
harus berjalan beriringan.
Keputusan
organisasi memang harus dihormati, namun kehormatan para kiai juga harus
dijaga. Mekanisme formal boleh ditegakkan, tetapi ukhuwah nahdliyah jangan
sampai patah. Karena
NU yang diwariskan para muassis bukanlah NU yang gemar bertengkar, melainkan NU
yang:
•
tegak di atas aturan,
•
teduh di bawah bimbingan
ulama,
•
dan damai dalam hati para
pengikutnya.
Dan selama islah
tetap terbuka, selama para kiai masih mau saling merangkul, NU akan selalu
menemukan jalan keluar yang terbaik.
Merawat NU dengan
Adab dan Keteguhan
Perubahan di tubuh
PBNU ini memang menimbulkan beragam reaksi. Namun, sebagaimana diwariskan para
muassis—KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, dan para kiai sepuh lainnya—NU
harus dirawat dengan kepala dingin dan hati yang jernih.
Aturan organisasi
sudah berjalan. Mekanisme AD/ART sudah dipakai. Perkum telah menjadi pedoman
tindakan.
Kini saatnya warga
NU kembali menata langkah, mengedepankan adab, dan menatap masa depan dengan
tenang.
Karena pada
akhirnya, NU selalu lebih besar daripada satu nama, satu jabatan, atau satu
kelompok. NU hidup karena keberkahan para kiai dan ketulusan para jamaahnya.
Penulis: Syarif Dhanurendra (Alumni IPNU, Kader NU Kabupaten Nganjuk)

