NU, Dinamika Kepemimpinan, dan Pentingnya Menjaga Adab di Tengah Perbedaan

NU, Dinamika Kepemimpinan, dan Pentingnya Menjaga Adab di Tengah Perbedaan
NU, Dinamika Kepemimpinan, dan Pentingnya Menjaga Adab di Tengah Perbedaan

MEDIA IPNU - Pergantian kepemimpinan di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) belakangan ini menjadi sorotan publik. Pemberhentian KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dari jabatan Ketua Umum dan penetapan KH Zulfa Mustafa sebagai Pejabat (Pj.) Ketua Umum memunculkan beragam respons—dari yang tenang hingga yang penuh kegelisahan. Namun dalam tradisi NU, setiap dinamika mestinya kita sikapi dengan kejernihan hati, ketertiban organisasi, dan kedewasaan adab. .

Mengapa Gus Yahya Diberhentikan?

Pemberhentian ini bukan lahir dari ruang kosong. PBNU mengacu pada Peraturan Perkumpulan NU Nomor 13 Tahun 2025 tentang pemberhentian fungsionaris. Ada sejumlah dugaan pelanggaran yang dinilai memenuhi unsur pemberhentian tetap, mulai dari keterlibatan dalam jaringan yang dinilai kontroversial, mengundang narasumber yang dianggap bermasalah, hingga hal-hal yang dipandang melanggar prinsip Aswaja.

Yang harus digarisbawahi: ini adalah alasan formal organisasi, bukan penghakiman moral atau vonis pribadi. Dalam tradisi NU, ketika menilai seorang kiai, kita diajarkan untuk berhati-hati, tidak berlebihan, dan menjaga kehormatan.

Aturan Organisasi: Ketika Jabatan Kosong, Wakil Mengisi

NU memiliki perangkat aturan yang sangat rinci. Semua tertulis jelas dalam AD/ART dan Perkum. ART Pasal 49 menyebutkan: jika Ketua Umum berhalangan tetap, maka Wakil Ketua Umum otomatis menjadi Pejabat Ketua Umum.

Begitu keputusan pemberhentian tetap berlaku, mekanisme bergerak sendiri. Nama yang kini mengisi posisi itu adalah KH Zulfa Mustafa, salah satu Wakil Ketua Umum PBNU. Penetapannya dilakukan melalui Rapat Pleno dengan syarat kuorum sebagaimana aturan organisasi.

Dengan kata lain, apa yang terjadi adalah penerapan regulasi yang sejak awal sudah disepakati dalam Muktamar.

Ketika Organisasi Mengambil Keputusan

Dalam tradisi pesantren, ada satu kaidah yang relevan: “al-hukmu yadûru ma‘a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman”—keputusan mengikuti sebabnya. Jika ada tindakan yang dinilai mencederai marwah organisasi, PBNU berkewajiban merespons. Namun di balik itu semua, nilai yang harus tetap hidup adalah tasamuh, kehati-hatian, dan penghormatan antarkiai.

Keputusan pergantian ini sepatutnya tidak dibaca sebagai perebutan kekuasaan, tetapi sebagai ijtihad organisatoris untuk menjaga ketertiban jam’iyyah.

Majelis Tahkim: Jalan Damai NU Menyelesaikan Perselisihan

Publik mungkin melihat dinamika ini seperti konflik politik biasa. Padahal NU telah menyiapkan mekanisme penyelesaian yang jauh lebih beradab: Majelis Tahkim.

Peraturan Perkumpulan NU Nomor 14 Tahun 2025 menyebutkan bahwa setiap perselisihan internal akibat keputusan organisasi diselesaikan melalui lembaga ini. Majelis Tahkim dipimpin langsung oleh Rais ‘Aam sebagai ketua ex-officio, dan berfungsi sebagai ruang penjernihan, bukan arena saling serang.

Di sinilah bukti bahwa NU mengedepankan teduhnya musyawarah, bukan kerasnya debat publik.

Islah: Jalan Para Kiai yang Paling Mulia

Lebih dari aturan formal, NU sejak awal berdiri memegang satu prinsip luhur: al-ishlah khair—islah itu lebih utama.

Islah tidak hanya tentang berdamai, tetapi memulihkan silaturahmi. Para kiai selalu mengajarkan bahwa kelapangan hati lebih mulia daripada kemenangan dalam konflik. Legowo terhadap keputusan organisasi bukan tanda kalah, melainkan bukti kedewasaan spiritual.

Jika semua pihak memilih duduk bersama, memaafkan, dan kembali mengutamakan perjuangan, NU akan kembali teduh seperti sedia kala.

NU Akan Tetap Kuat Jika Kita Menjaga Adab

Perbedaan pendapat adalah hal biasa, apalagi dalam organisasi sebesar NU. Namun NU bertahan lebih dari seratus tahun karena satu hal: adab. Aturan organisasi dijalankan, kehormatan kiai dijaga.

Bukan konflik yang membuat NU besar, tetapi akhlak para pengasuhnya dan ketulusan para jamaahnya.

Maka di tengah dinamika ini, sikap terbaik warga NU adalah:

  • mengikuti keputusan organisasi yang sah,
  • menjaga lisan agar tidak menambah gaduh,
  • dan tetap menghormati semua pihak, termasuk Gus Yahya dan KH Zulfa Mustafa.

Saatnya Menata Hati, Menatap ke Depan

Aturan sudah berjalan. Mekanisme sudah bekerja. Kini yang dibutuhkan adalah ketenangan jamaah. NU selalu lebih besar daripada satu tokoh, satu jabatan, atau satu kelompok. NU hidup karena berkah para kiai dan kekompakan umatnya.

Jika kita kembali merawat NU dengan adab, insyaAllah setiap badai justru akan menguatkan, bukan meruntuhkan. (sd)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama