Ber-IPNU IPPNU Lewat Cara Berpakaian

Ber-IPNU IPPNU Lewat Cara Berpakaian
instagram: @_its.kartika23

MEDIA IPNUBer-IPNU IPPNU Lewat Cara Berpakaian. Cara berpakaian menjadi salah satu faktor yang dinilai orang lain kepada seseorang. Sebenarnya cara berpakaian bukanlah tolak ukur soal baik buruknya kepribadian seseorang, melainkan cara mereka menanggapi masalah psikologis, sosial, keuangan dan lainnya yang ada dalam hidupnya.

Apa yang mereka kenakan, khususnya di depan orang lain, merupakan sebuah pesan tentang kepribadiannya atau bagaimana karakternya, bukan soal baik atau buruknya kepribadian orang tersebut.

Ketika seseorang dalam berpakaian memperhatikan kerapian, kebersihan, dan keluwesan maka orang lain akan segan kepada seseorang tersebut. Bahkan orang lain akan menganggap bahwa seseorang ini tampak berwibawa ketika dia mampu menunjukkan cara berpakaiaannya dengan baik.

Ber-IPNU IPPNU Lewat Cara Berpakaian sebagai Identitas Organisasi

Pakaian juga menjadi ciri dari organisasi maupun komunitas. Organisasi maupun komunitas biasanya memiliki pakaian yang menjadi ciri khas dari organisasi atau komunitas tersebut.

Dalam organisasi IPNU IPPNU sendiri ada beberapa ciri khas pakaian yang melekat pada anggota atau kader, yaitu jas IPNU IPPNU. Selain itu ada juga batik IPNU IPPNU pekalongan, yang sebenarnya bukan batik nasional, tetapi hampir semua anggota dan kader memilikinya.

IPNU IPPNU sendiri memiliki ratusan ribu atau bahkan jutaan anggota atau kader yang tersebar di tanah air. Biasanya yang mencirikan adalah pakaian khas IPNU IPPNU, yaitu jas atau batik tersebut.

Mayoritas anggota atau kader biasanya mempunyai batik organisasi, tetapi tidak banyak yang memiliki jas. Jas sendiri dalam tradisi budaya Indonesia dianggap pakaian orang-orang yang berilmu atau orang akademis atau orang yang berpendidikan.

Baca juga: KetuaPC IPPNU Bangil: Komisariat Perguruan Tinggi adalah Lumbung Intelektual

Cara Berpakaian sebagai Simbol dalam Sejarah

Pada zaman sebelum kemerdekaan, biasanya orang-orang yang memakai jas adalah dari kalangan penjajah yaitu kalangan belanda. Hanya sedikit orang pribumi yang memakai jas karena jas sendiri symbol dari orang yang berpendidikan.

Dahulu pendiri Nahdlatul Ulama Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari juga sempat melarangsantri-santrinya memakai jas dan berdasi, dikarenakan takut menyerupai kaum penjajah. Tetapi dalam hal ini bukan berarti hadratussyaikh sangat anti dengan pakaian tersebut. Langkah dari kakek Gus Dur ini adalah upaya perlawanan Kiai Hasyim Asy’ari terhadap penjajah yang tidak hanya dilakukan melalui fisik, melainkan juga dilakukan melalui perlawanan kultural.

Upaya kultural tersebut dilakukan oleh santri dan kiai sebagai salah satu ruang perlawanan, meskipun langkah diplomasi juga tetap dilakukan. Langkah kultural tanpa kompromi misalnya dilakukan oleh Kiai Hasyim ketika melarang para santrinya dan masyarakat untuk menyerupai identitas penjajah Belanda seperti memakai celana, jas, dan dasi. Bahkan dengan tegas, Kiai Hasyim mengharamkan.

Konteks pengharaman ini merupakan salah satu strategi perlawanan terhadap ketidakperikemanusiaan yang dilakukan penjajah kepada bangsa Indonesia. Kiai Hasyim ingin menunjukkan bahwa bangsa Indonesia juga mempunyai kekuatan dan tidak akan tinggal diam terhadap kekejaman penjajah.

Meskipun fatwa haram terhadap identitas penjajah tersebut tidak berlaku permanen, karena pada perkembangan zaman putra beliau yang merupakan ayah Gus Dur yaitu Kiai Wahid Hasyim juga identik berpakaian dengan celana, jas dan memakai dasi.

Pada perkembangan zaman pula jas banyak dipakai oleh tokoh politik Indonesia, yaitu sang proklamator kemerdekaan RI yaitu Bung Karno maupun Bung Hatta yang identik dengan jas. Setelah itu jas menjadi pakaian yang sering digunakan oleh pejabat-pejabat tanah air yang menandakan bahwa orang yang memakai adalah orang yang berpendidikan.

Baca juga: CalonKetua Umum PP IPNU Periode 2022-2025 Resmi Ditetapkan

Menyoal tentang Jas dalam Ber-IPNU IPPNU

Seiring perkembangan zaman, jas menjadi pakaian yang digunakan sebagai almamater sekolah atau kampus atau menjadi pakaian yang mencirikan suatu organisasi atau komunitas tertentu.

Dalam organisasi IPNU IPPNU sendiri mempunyai ciri khas jas yang berwarna abu-abu yang beberapa anggota atau kader memilikinya. Tetapi dalam perkembangannya, jas IPNU IPPNU sendiri kadang disalahgunakan dalam pemakaiannya.

Menurut saya pribadi jas IPNU IPPNU memiliki nilai kesakralan tersendiri. Berangkat dari pandangan orang dahulu bahwa yang memakai jas adalah orang yang berpendidikan atau orang akademis. Pun dari organisasi IPNU IPPNU itu sendiri yang bergerak di kalangan pelajar, maka secara tidak langsung anggota atau kader IPNU IPPNU dalam berpakaian harus mencirikan bahwa dia orang yang berpendidikan atau orang terpelajar.

Pada saat ini banyak anggota atau kader IPNU IPPNU yang belum paham mengenai cara berpakaian. Banyak yang terkesan hanya berpakaian, tetapi tidak tahu esensi dari pakaian yang dikenakan tersebut.

Menurut saya, ketika jas mempunyai nilai kesakralan, maka jas seharusnya dikenakan tidak dengan cara sembarangan. Jas seharusnya digunakan ketika ada acara formal atau acara resmi, karena seharusnya tidak semua acara atau kegiatan dari organisasi ini harus memakai jas itu sendiri. 

Opsi lain bisa menggunakan pakaian PDH Resmi IPNU IPPNU atau menggunakan batik Pekalongan. Sebab, ketika jas digunakan sembarangan, maka kesan kesakralan dari jas tersebut akan hilang.

Tak jarang banyak anggota atau kader yang memakai jas di luar kegiatan IPNU, atau memakai jas ketika sedang berkendara di jalan. Sebenarnya sah-sah saja memakai jas pada saat berkendara, tetapi ketika kita memakai pakaian yang mencirikan organisasi kita maka ketika kita di keramaian atau di luar secara langsung kita membawa nama baik organisasi kita.

Ketika kita misalnya berkendara di jalan melanggar lalu lintas atau kita berkendara secara ngawur atau kebut-kebutan saat kita memakai jas IPNU atau pakaian yang mencirikan organisasi kita, maka organisasi kita juga akan kena imbas buruknya.

Maka, menurut saya pribadi, ketika kita di keramaian, jikalau kita belum mampu membawa nama baik organisasi atau belum mampu menjadi contoh yang baik ketika di luar, maka lebih baik kita berpakaian secara netral atau tidak mengenakan pakaian ciri khas organisasi kita.

Poin yang bisa kita ambil adalah berhati-hati dalam berpakaian karena berpakaian sendiri dapat mewakili entitas dari suatu organisasi.

 

BIOGRAFI PENULIS

Achmad Naufal Anam, lahir di magelang 21 februari 2002, sekarang aktif menjadi pengurus PC IPNU Kota Yogyakarta dan PAC IPNU Kemantren Gondokusuman.

Naufal pernah menempuh pendidikan pesantren di Ponpes API Tegalrejo Magelang, Ponpes Sunan Pandanaran, Ponpes Miftahul Huda Wonosobo dan Ponpes Minhajuttamyiz Yogyakarta.

Saat ini sedang menyelesaikan pendidikannya di UIN Sunan Kalijaga jurusan Ilmu Hukum, dalam kepengurusan terbaru PC IPNU Kota Yogyakarta diamanahi sebagai direktur Badan Student Research Center.

 


Ingin tulisanmu dimuat pula di mediaipnu.or.id? Ini informasinya: Kirim Artikel

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama