Anies - Cak Imin dan Politik "Grasa-Grusu" Partai Demokrat

Anies - Cak Imin dan Politik "Grasa-Grusu" Partai Demokrat
Anies - Cak Imin dan Politik "Grasa-Grusu" Partai Demokrat

MEDIA IPNU - Anies - Cak Imin dan Politik "Grasa-Grusu" Partai Demokrat. Sebelum peristiwa "perjodohan" Anies-Muhaimin, saya menilai Partai Demokrat lah partai yang cukup konsisten mendedahkan narasi-narasi segar menyambut Pilpres 2024. Sebagai partai oposan, Demokrat, dalam hemat saya, mampu menyajikan gagasan-gagasan perubahan dengan cukup menarik di tengah tingginya angka kepuasan publik terhadap pemerintah Jokowi yang relatif tinggi.

Namun, pasca peristiwa "perjodohan" Anies-Muhaimin, saya menilai Partai Demokrat belum cukup matang sebagai partai politik. Kekanak-kanakan, emosional, dan tidak cukup cerdas mengambil sikap politik di tengah proses politik yang begitu dinamis dan cair. Sikap politik Partai Demokrat dalam dinamika politik yang terjadi sama sekali tak mencerminkan jati diri sebagai partai besar yang dua kali memenangkan pemilu secara berturut-turut (Pemilu 2004 dan 2009).

Sesuatu yang Biasa

Anies - Cak Imin dan Politik "Grasa-Grusu" Partai Demokrat. Peristiwa "perjodohan" Anies-Muhaimin adalah sesuatu yang biasa dalam politik Indonesia. Namun, bagi Partai Demokrat, peristiwa itu seolah-olah adalah kejadian luar biasa yang meluluhlantakkan segalanya.

Bahwa Partai Demokrat kecewa atas "perjodohan Anies-Muhaimin" yang tampak begitu cepat dan tak melibatkan Partai Demokrat sebagai bagian dari Koalisi Perubahan dan Perbaikan, kita rasa itu wajar dan bisa dimaklumi. Namun demikian, sebenarnya tak sewajarnya kekecewaan itu mesti dilampiaskan dengan sumpah serapah dan kemarahan luar biasa. Sebab, disadari atau tidak, sikap seperti itu hanya akan merugikan Partai Demokrat sendiri.

Lihat saja respons dan tanggapan publik terhadap sikap Partai Demokrat yang agresif dan penuh kemarahan tersebut. Publik justru tak banyak memperhatikan narasi pengkhianatan yang dialamatkan Partai Demokrat kepada Anies Baswedan dan Partai Nasdem. Sebaliknya, justru publik melihat kemarahan dan kekecewaan itu karena kepentingannya (mencawapreskan AHY) tak dilayani atau tak diakomodasi oleh Anies dan Partai Nasdem.

Begitu juga dengan keputusan yang memilih out dari Koalisi Perubahan dan Perbaikan. Saya menilai, seperti kemarahan yang dipertontonkannya, keputusan tersebut juga sangat akan merugikan Partai Demokrat sendiri. Sebab, satu-satunya tokoh atau sosok yang mewakili posisi Partai Demokrat sebagai partai oposan dengan ide-ide perubahannya saya kira hanyalah sosok Anies. Bukan Prabowo Subianto, juga bukan Ganjar Pranowo.

Prabowo dan Ganjar adalah dua tokoh yang bukan hanya identik, tetapi jelas merupakan tokoh "keberlanjutan" yang jelas-jelas sangat tidak cocok posisi moral politik Partai Demokrat dan misi perubahannya.

Sebenarnya bisa saja Partai Demokrat memilih bergabung dengan koalisi Ganjar atau Prabowo . Namun, pilihan itu saya rasa tidak tepat dan penuh dengan konsekuensi dan risiko politik yang tidak enteng. Salah satu konsekuensi yang sejak dini bisa kita prediksi, Partai Demokrat bakal dicap inkonsistensi dan akan ditinggal oleh basis pendukungnya yang mendukung Partai Demokrat karena ide-ide perubahannya.

Karena itu, keputusan Demokrat untuk out dari Koalisi Perubahan dan Perbaikan, apa pun alasannya dan bagaimana pun kondisinya, hal itu sangat tidak tepat, grasa-grusu, dan tidak disertai pertimbangan yang matang dan memadai.

Elegan dan Hati-Hati

Anies - Cak Imin dan Politik "Grasa-Grusu" Partai Demokrat. PKS yang posisinya juga sama dengan Partai Demokrat tampak begitu elegan dan hati-hati dalam mengambil sikap dan keputusan. PKS tak sereaktif Partai Demokrat dalam menyikapi peristiwa "perjodohan" Anies-Muhaimin. Padahal, posisi PKS kurang lebih juga sama dengan Demokrat: juga tidak diajak bermusyawarah untuk menentukan cawapres yang akan mendampingi Anies.

Namun begitu, PKS tetap tenang dan tetap berusaha menjaga sikap. Tidak marah-marah tanpa arah dan tujuan. Oleh PKS, dinamika politik yang terjadi dipahami secara jernih untuk kemudian mengambil keputusan.

Walhasil, sampai saat ini, posisi PKS tidak terlalu dilematis dan membingungkan. PKS tampak begitu dewasa dan matang dalam menyikapi dinamika politik yang bergulir. Tidak grasa-grusu dan serampangan bersikap. Sementara Partai Demokrat sangat dilematis dan tidak jelas akan ke mana. Sudah begitu, juga mendapat label buruk sebagai "partai bocil" yang dipimpin oleh "kader karbitan".

Penulis: Ahmad Farisi pengamat politik (mmu/mmu)

Sumber: Detik News dengan judul "Anies-Muhaimin dan Politik "Grasa-Grusu" Partai Demokrat"

Baca juga:  cakarif.my.id


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama